Kasus-Kasus Hukum karena Salah Gunakan Garuda Pancasila. Ini Aturan & Sejarahnya!
CARA LAIN MENDENGARKAN:
ESTER JUSUF
Aktivis sosial dan hukum. Pada tahun 2002, ia menerima Yap Thiam Hien Award, penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar dalam upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Saat ini beliau aktif dalam mengupayakan literasi di Indonesia melalui Yayasan Rebung Cendani.
TRANSKRIP
Saya dapat kiriman banyak buku dari sahabat lama, Siti Rustila. Dia ini teman kuliah di Fakultas Hukum UI. Salah satu buku kirimannya adalah buku terbitan Lemhanas. Judulnya “Kewiraan Untuk Mahasiswa”. Buku ini adalah buku wajib yang kami pakai jaman kuliah dulu, tahun 90. Waktu saya terima buku Kewiraan ini sudah tua, kertasnya mulai berubah warna jadi kecoklatan. Membaca ulang rasanya seperti nostalgia jaman dulu.
Dulu membaca buku kewiraan adalah kewajiban. Sekarang beda. Sekarang seperti mencari mutiara di antara teks-teks tua dengan bahasa yang agak sulit dipahami . Saya ingin menemukan apa yang dulu membuat rakyat begitu membara semangatnya, kebanggaannya sebagai bangsa Indonesia. Saya ingin menemukan ‘rasa’ dan ‘kesadaran’ rakyat saat Indonesia saat itu.
Saya membaca perlahan buku Kewiraan itu. Membaca dan memasukkan tiap dalam pikiran, lalu membenamkan dalam-dalam ke dalam hati. Saat itulah Buku Kewiraan itu mulai bicara pada saya. “Segala sesuatu harus mengabdi pada kepentingan bangsa. Tiap orang harus berpikir tentang kepentingan bangsa, tiap orang harus berjuang untuk mencapai tujuan bangsa”
Lalu, apa itu kepentingan bangsa? Apa itu tujuan bangsa? Kita sering bicara tentang tujuan bangsa. Pemerintah Indonesia yang mampu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah; ada kesejahteraan umum; bangsa Indonesia jadi bangsa yang cerdas. Tujuan itu berat. Itu belum termasuk tujuan yang bersifat internasional: Membentuk Dunia yang tertib, merdeka, damai dan ada keadilan sosial.
Membaca tujuan pertama untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, saya jadi teringat pada tetangga saya dulu di Kampung Pulo, Cilandak, keluarga tentara. Marinir. Saya lupa siapa namanya. Rumah keluarga ini berjarak 2 rumah dari rumah keluarga saya. Saat itu saya masih SMA. Dulu saya menyebutnya Pak Marinir. Pak Marinir selalu tampak gagah dengan seragamnya. Namun saya lihat sebenarnya hidupnya sangat sederhana. Rumahnya ukuran sekitar 2,5 x 8 meter. Rumah itu hanya 1 ruangan memanjang dan 1 kamar mandi. Ruang tamu bergabung jadi satu dengan tempat tidur, dapur, tempat cuci, jemuran dan gudang.
Pak Marinir dan isterinya sangat baik kepada keluarga kami. Setiap mama saya keluar kota, mama selalu minta tolong isteri Pak Marinir memasak bagi kami. Permintaan mama: Apa yang dia masak, kami ikut saja. Apa yang mereka makan, kami makan. Lalu saya jadi hapal menu masakannya. Hanya ada 3 menu. Terong balado, tempe sambal dan sayur asam. Itu tiga menu yang terus berputar. Tak pernah ada daging atau ikan.
Saya jadi membayangkan hal-hal yang mungkin ia alami. Tentu banyak kali ia menahan perasaannya, karena keterbatasan. Mungkin saat melihat gaun yang bagus di pasar, ia ingin beli untuk isterinya. Lihat sepeda mainan kecil, ia akan ingat anaknya. Melihat anak-anak lain fasih berbahasa Inggris dan banyak pengetahuan, ia mungkin hanya dapat menarik napas panjang. Keterbatasan sebagai prajurit memposisikannya untuk menerima segala sesuatu. Harus berkata “Siap”, apapun keadaannya. Harus mau dan siap melindungi bangsa apa pun keadaannya. Tentu situasi yang tak mudah baginya dan keluarga.
Persahabatan keluarga kami dan keluarga Pak Marinir berjalan sederhana. Saya masih ingat sorot mata gembira isteri Pak Marinir saat ia memberi kami oleh-oleh biskuit ransum prajurit. Saya tahu, pemberian itu adalah yang maksimal yang mereka mampu. Sebenarnya tugas melindungi bangsa, tumpah darah itu bukan hanya tugas Pak Marinir.
Melindungi bangsa, melindungi tumpah darah kerap dianggap adalah tugas dari aparat keamanan semata. Jika berurusan dengan negara lain atau kekuatan asing maka itu tugas TNI, jika masalah dalam negeri itu tugas Polri. Rakyat yang tak berprofesi sebagai prajurit TNI atau Polri mungkin tidak merasa ikut bertanggung jawab soal melindungi bangsa atau tumpah darah.
Pikiran tentang pembagian peran dalam pertanggungjawaban masalah keamanan ini sangat terkait dengan identitas seseorang. Identitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang. Bisa juga disebut jati diri. Identitas biasanya bersifat pribadi. Identitas resmi biasanya nama, alamat, jenis kelamin, agama, tempat tanggal lahir. Identitas tidak resmi bisa terkait ciri fisik atau apa yang tampak oleh orang lain. Identitas biasa dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk, ID Card, Surat Ijin Mengemudi, Kartu Pelajar, Kartu Mahasiswa dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Identitas pribadi yang resmi belum tentu memuat identitas yang sesungguhnya. Ada orang yang sehari-hari beragama Kristen namun di KTP-nya tertulis Islam. Ada juga yang tidak memilih 1 dari antara 6 agama resmi negara, namun membiarkan kolom agama di KTP-nya diisi dengan salah satu dari ke-6 agama.
Identitas terkait genetik dan etnis persoalannya jauh lebih rumit. Mari kita bedah asas patrilineal dan genetika seseorang. Jika seorang lelaki Batak menikah dengan perempuan Tionghoa, maka identitas keturunannya akan digolongkan sebagai etnis Batak. Demikian juga jika yang terjadi sebaliknya, seorang lelaki Tionghoa menikah dengan perempuan Batak, maka identitas keturunannya akan digolongkan sebagai etnis Tionghoa. Dalam budaya Batak seringkali orang dari etnis di luar Batak yang menikah dengan etnis Batak akan mendapat nama marga. Secara hukum adat orang itu akan dianggap sebagai bagian dari etnis Batak.
Sekarang mari kita amati secara genetika, keturunan dari kedua contoh perkawinan di atas sama-sama berasal dari campuran 2 etnis. Ciri fisik mungkin sulit dibedakan antara yang lahir dari perkawinan lelaki Batak dan perempuan Tionghoa dan yang lahir dari perkawinan perempuan Batak dan lelaki Tionghoa. Namun secara hukum identitas yang melekat adalah berdasar etnisitas kepala keluarga. Jadi percampuran darah, ciri fisik di depan hukum yang patrilineal bukan menjadi identitas utama.
Namun dalam situasi di lapangan, identitas berupa ciri-ciri fisik kerap menjadi yang lebih utama. Misal jika terjadi kerusuhan rasial pada etnis Tionghoa, maka yang menjadi sasaran bukan hanya yang secara hukum patrilineal adalah etnis Tionghoa. Tapi semua orang yang punya ciri-ciri fisik mata sipit dan kulit kuning mungkin akan ikut jadi sasaran.
Bukan hanya ciri fisik yang kelihatan oleh mata. Aroma tubuh pun bisa menjadi penanda. Misal pada saat konflik antara etnis Dayak dan Madura, banyak informasi beredar bahwa etnis Dayak dapat mengenali dan mendeteksi keberadaan orang etnis Madura dari aroma tubuhnya. Aroma tubuh ini menjadi penanda. Identitas lainnya dapat berdasar keturunan. Wah, itu kan anaknya Jendral. Ada juga identitas konon dari warna darah. Jika darah biru maka akan tergolong sebagai keluarga priyayi. Banyak identitas terkait ciri fisik. Si Mata Biru, si jangkung, …. Si Buta dari Gua Hantu …
Soal identitas, yang banyak dirasa paling menyesakkan adalah berdasar tebal tipisnya kantong. Seorang teman saya pernah bicara. Pokoknya dia akan mencari perempuan yang kaya untuk jadi isterinya. Wajah jelek seperti monyet pun dia mau. Yang penting duitnya, yang penting warisannya. Yang penting ada duit. Ada duit wajah bisa dioperasi plastik.
Identitas lain berdasar umur. Bayi, batita, balita, anak kecil, anak remaja, pemuda, dewasa, senior atau lansia. Bisa juga berdasar jenis penyakit. Pasien kanker, HIV, obesitas, gula, glukoma, ratardasi mental, distorsi kognitif atau pasien jantung koroner. Waw… ternyata banyak sekali hal yang bisa jadi penanda pribadi identitas pribadi.
Identitas bukan hanya tentang pribadi. Identitas bisa juga pada kelompok masyarakat, organisasi atau bangsa. Ada sangat banyak kelompok. Ada yang berdasar kesamaan suku, agama, ideologi, partai, hobby, asal sekolah. Belakangan malah banyak plesetan identitas kelompok yang baru. Nama-nama kelompok banyak yang tak terbayangkan oleh saya sebelumnya: “Kelompok perempuan yang tak suka laki-laki gebrak-gebrak meja, kelompok ngapak penggemar telor asin, kelompok orang yang ngarep gigit rendang ternyata tergigit lengkuas, kelompok cebong yang terlibat asmara” …. wuah… bangsa Indonesia memang super kreatif!
Nah kita lanjut ke pertanyaan berikut: apa pentingnya identitas sebagai bangsa atau identitas nasional? Menurut Tilar ada 2 jenis identitas, primer dan sekunder. Identitas bangsa adalah identitas buatan atau sekunder. Disebut identitas buatan karena identitas itu dibuat, dibentuk dan disepakati bersama oleh orang-orang yang bernegara. Identitas bangsa lahir dari identitas primer, yaitu kesukubangsaan. Identitas nasional ini ditandai dengan bendera, bahasa, lambang Negara dan lagu kebangsaan. Identitas yuridis ini jelas. Bendera Negara kita Sang Merah Putih. Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Lambang Negara Garuda Pancasila dan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Identitas nasional ditentukan oleh ideologi dan norma pedoman berperilaku. Identifikasi dapat dilihat dari sifat lahiriah maupun batiniah. Yang bersifat batiniah ini lebih sulit terlihat. Batiniah ini tentang Pancasila dan UUD 45. Yang dapat kita lihat utama adalah perilaku. Perilaku bisa sangat berbeda dengan batiniah. Saya kerap menjumpai orang-orang yang sangat pandai berkata dan sikap manis saat di ruang publik, sangat pandai komunikasi dengan pihak berkuasa atau orang yang disasar.
Orang-orang ini akan sangat berbeda sikapnya jika berhadapan dengan tujuan bangsa yang kedua: kesejahteraan umum, kesejahteraan masyarakat. Wah saya jadi ingat seorang kawan baik saya yang jadi ketua angkatan di kampusnya. Kawan saya ini punya jurus jitu jika berhadapan dengan teman-temannya yang kadang bertikai sangat keras di dalam whats app grup. “Gampang…, kalau mereka mulai ribut, gw tinggal posting ajakan memberi santunan anak yatim atau bantuan pendidikan. Pasti semua pada diam.” Ujarnya dengan bijak. Jenius banget! Saya amati whats app grup kami dan polanya. Memang benar. Begitu ada permintaan menyumbang dana atau ikut dalam kegiatan sosial maka pertengkaran apapun akan langsung surut. Suasana langsung jadi sejuk. Para mulut besar sontak mundur teratur.
Cerita lagi ya. Ini masih di topik tujuan nasional kita tentang kesejahteraan umum. Kali ini saya bincang-bincang dengan seorang teman pengusaha. Saya bahas keluhan para buruhnya. Para buruh berharap ada sedikit tambahan tunjangan atau bonus. Mereka tahu tak bisa berharap kenaikan upah. Upah mereka sudah UMR. Teman saya tidak happy. Menurutnya upah itu tak akan cukup kalau buruh makannya tiap hari Mc. Donald. Saya tahu menu yang dimakan para buruh sehari-hari. Mi instan, singkong, ikan asin, krupuk, kecap dan segunung nasi. Jadi ingat kuliah dosen saya, seorang doktor ahli kesehatan masyarakat. Ia bicara tentang penyakit obesitas dan sakit gula, diabetes.”Masalahnya adalah bangsa kita terlalu banyak makan nasi”, ujarnya. Makanan seharusnya seimbang jumlah karbohidrat, sayuran, protein, vitamin. Bukan segunung nasi, ikan asin dan kecap saja.
Di sisi lain saya lihat seorang buruh dengan upah UMR. Dia baru saja dapat tambahan pekerjaan. Gabungan UMR-nya dengan upah dari pekerjaan baru itu artinya kenaikan pendapatan sekitar 40%. Saya berharap ada peningkatan kualitas hidup keluarga kecilnya. Ternyata tidak ada. Yang ada hanya perubahan gaya hidup pribadinya saja. Merk rokoknya ganti, menu makan pribadinya lebih enak, pulsa hpnya lebih banyak. Anak isterinya tetap makan sekedarnya di rumah kontrakan kecil. Tetap tak ada tabungan.
Jadi sebetulnya tujuan nasional kesejahteraan umum itu sebetulnya adalah isu aktual tiap orang. Jangan berpikir terlalu besar. Berpikirlah kontekstual. Apa yang bisa mensejahterakan orang-orang di sekitar kita. Tak perlu harus jadi anggota dewan atau menteri dulu baru bicara tentang bangsa.
Bicaralah dengan perbuatan pribadi untuk bangsa. Bekerja lebih keras untuk kesejahteraan keluarga, menghargai orang yang identitasnya berbeda, tahu keadaan para tetangga kita… Hal yang paling sederhana, hiduplah sehat. Makan sehat dan secukupnya, olahraga, tidur secukupnya, tidak merusak lingkungan, membayar pajak. Itu hal-hal nyata untuk menjaga bangsa atau memajukan kesejahteraan umum.