Adakah Surga Bagi Orang Non Muslim yang Baik? Siapa Ahli Kitab dalam Al Quran? (Part 2)
CARA LAIN MENDENGARKAN:
Transkrip
Mayoritas ulama berusaha untuk menafsirkan ini bahwa mereka ini semuanya adalah yang sudah masuk Islam. Yang tidak setuju dengan pendapat itu menganggap bahwa tidak mungkin Allah akan menyebut kelompok-kelompok itu kalau mereka semuanya sudah masuk Islam. Ini menjadi kontroversi.
Ayat yang kita sering baca, “wal-‘aṣr”, demi waktu.”Innal-insāna lafī khusr”, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi. “Illallażīna āmanụ”, kecuali mereka yang beriman. “Wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti”, dan yang melakukan amal saleh. Jadi iman dan amal saleh ini selalu digandengkan oleh Al-Qur’an.
Nah, saya kembali kepada kelompok Kristen yang dianggap sebagai kelompok yang tulus, yang ikhlas, yang baik, yang lurus, yang percaya kepada Tuhan, percaya hari kemudian, menganjurkan yang baik, mencegah yang jelek. Mereka itu adalah min as-sholihin dari kelompok orang-orang saleh.
Dari sini timbul masalah. Apakah orang Kristen yang atau ahlul kitab yang disebut di dalam Al-Qur’an ini? Apakah orang-orang pengikut Nabi Isa dan pengikut Nabi Musa? Ataukah mereka bukan Pengikut Nabi Isa dan Nabi Musa pada masa Nabi?
Berselisih pendapat. Kalau Syeikh Ali Jum’ah menyatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang Kristen yang ada pada zaman Nabi yang percaya kepada Tuhan Yang Esa dan yang mempunyai predikat yang tadi disebutkan. Sehingga, berarti ada di antara kelompok Kristen yang bisa digolongkan sebagai as-sholihin sesuai dengan pernyataan Al-Qur’an.
Ulama-ulama Islam mayoritas menganggap mereka itu adalah yang sudah masuk Islam. Tapi dibantah oleh mereka yang sependapat dengan Ali Jum’ah, bahwa Tuhan tentu tidak mungkin akan mengatakan bahwa mereka yang sudah masuk Islam. Tidak perlu dikatakan bahwa Ahlul kitab itu tidak semuanya sama.
Nah, di sinilah timbul pemikiran, pendapat-pendapat yang berbeda. Masalahnya bahwa hubungan antara umat Islam dan umat Kristen diliputi juga oleh konflik yang cukup lama, sehingga terkadang ulama terbawa juga oleh konflik itu. Sehingga menafsirkan ayat Al-Qur’an, sebagian dari mereka yang berlebihan terhadap Kristen.
Umpamanya ada pandangan bahwa kemerosotan Islam ini disebabkan karena beberapa aliran yang ada, agama yang ada. Itu pendapat Ibn Taimiyah dan termasuk di dalamnya adalah Kristen. Sehingga umat Islam diperintahkan untuk tidak ikut merayakan perayaan Kristen. Tentu Ibn Taimiyah mempunyai pandangan-pandangan yang dapat diterima pula. Namun ada juga ulama-ulama yang mempunyai pandangan yang lebih luas.
Pertanyaan yang timbul adalah di mana tempat kelompok lurus atau Ummah Qa’imah dari Ahlul kitab ini, yang masuk dalam golongan para nabi-nabi? Sebagaimana saya sampaikan tadi beda penafsiran. Yang menganggap bahwa mereka ini sebenarnya orang Islam, tapi tadinya ahlul kitab, sehingga tidak ada masalah di situ. Ada yang mengatakan bahwa betul Ahlul kitab. Tetapi sebelum masa Nabi Muhammad lahir, sehingga Ahlul kitab adalah yang belum mengenal Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Namun pandangan Syeikh Ali Jum’ah dan beberapa ulama lainnya mengatakan bahwa sebenarnya ini mengacu kepada ayat Qur’an lainnya bahwa di antara Ahlul kitab itu ada pendeta-pendeta, ada pemuka-pemuka agama yang tidak arogan.
“Min-hum qissīsīna wa ruhbānaw wa annahum lā yastakbirụn”. Syeikh Ali Jum’ah menekankan bahwa Al-Qur’an sangat objektif, sangat fair, dan mengakui adanya kelompok-kelompok yang lurus yang percaya kepada Allah, tidak memusuhi nabi, mereka positif dan mereka konsisten terhadap ajaran nabinya, baik Nabi Musa dan Nabi Isa.
Ini membawa kita kepada penafsiran-penafsiran ayat Al-Qur’an yang kelihatannya dari segi kebahasaan, linguistik, memperkuat pandangan bahwa sebenarnya memang ada dari kelompok Ahlul kitab yang tidak perlu khawatir di masa, di akhirat nanti.
Yang sangat populer adalah Al-Baqarah 62 dan Al-Ma’idah 69 Yang intinya, “Innallażīna āmanụ”, mereka yang beriman maksudnya umat Islam. “Wallażīna hādụ”, orang-orang Yahudi. “Wan-naṣārā” orang-orang pengikut Nabi Isa. “Waṣ-ṣābi” ini agama yang mungkin sudah tidak ada atau masih ada. Ada yang anggap bahwa ini bagian dari Kristen, ada juga yang menganggap agama kuno.
Mereka itu semuanya yang, “man āmana billāhi”, percaya kepada Allah, “wal-yaumil-ākhiri wa ‘amila ṣāliḥan”, dipercaya kepada hari kemudian dan melakukan amal saleh. Yang tadi kita sebutkan amal saleh ini adalah amal yang paling tinggi di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, penuh dengan keikhlasan, penuh dengan upaya untuk memberi manfaat kepada orang lain. Itu yang namanya amal saleh.
Maka mereka itu semuanya yang disebut tadi, “fa lahum ajruhum ‘inda rabbihim”, mereka akan mendapat ganjaran dari Tuhan-Tuhan, maksudnya yang Maha Kuasa.
“Wa lā khaufun ‘alaihim wa lā hum yaḥzanụn”, dan dari itu mereka tidak perlu takut, khawatir di hari kemudian dan juga tidak perlu susah. Implikasi dari ayat ini, ada ulama yang menganggap bahwa ayat ini sudah tidak berlaku lagi atau ada istilah di dalam Islam, “Nasikh Mansukh” yang sudah tidak diberlakukan lagi.
Nah, topik Nasikh Mansukh ini menjadi perdebatan sampai sekarang. Ada yang mengatakan bahwa tidak mungkin ada. Itu artinya Nasikh Mansukh adalah menghapus dan dihapus oleh ayat yang baru. Mereka yang tidak sependapat dengan adanya Nasikh Mansukh, menganggap bahwa tidak mungkin Tuhan menghapus satu ayat, lalu mendatangkan ayat yang lain.
Memang ada di dalam Al-Qur’an kata-kata, “mā nansakh min āyatin au nunsihā na`ti bikhairim min-hā au miṡlihā”. Kami tidak mungkin menghapus suatu ayat atau suatu tanda-tanda kebesaran Allah, kecuali digantikan dengan ayat yang sama atau yang lebih baik.
Mereka yang berpendapat bahwa ada Nasikh Mansukh juga berbeda. Mereka menganggap bahwa maksud daripada “kami tidak akan menggantikan satu ayat kecuali dengan ayat yang sama atau lebih baik” adalah syariat yang sebelum Nabi Muhammad tiba. Jadi maksudnya, syariat yang ada di Taurah, syariat yang ada di injil.
Ini perbedaan pendapat dalam rangka mencari solusi terhadap ayat ini yang menggambarkan bahwa ada kelompok-kelompok yang beramal saleh, percaya kepada Tuhan yang satu dan seterusnya, tidak perlu khawatir di masa yang akan datang. Mayoritas ulama berusaha untuk menafsirkan ini bahwa mereka ini semuanya adalah yang sudah masuk Islam.
Yang tidak setuju dengan pendapat itu menganggap bahwa tidak mungkin Allah akan menyebut kelompok- kelompok itu kalau mereka semuanya sudah masuk Islam. Ini menjadi kontroversi.
Tetapi perlu digarisbawahi bahwa di dalam Islam, ada kelompok-kelompok yang “black and white” yang strict. Itu biasanya kelompok-kelompok di bidang hukum. Jadi kalau tidak begini maka demikian. Kalau dia berbuat ini maka dia masuk neraka. Kalau dia, nah, itu kelompok yang selalu bertikai dengan kelompok yang mengedepankan rahmat Tuhan.
Rahmat Tuhan ini biasanya dipegang oleh kelompok- kelompok spiritual Sufi. Karena alasannya bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala ini penuh dengan rahmat. Bahwa Allah di dalam Al-Qur’an menyebut dua nama yang selalu kita, umat Islam ini baca setiap hari, beberapa kali yaitu Ar-Rahman dan Ar-Rahiim, Maha Penyayang, Maha Pengasih. Jadi dia mengacu bahwa Tuhan kita ini Maha Penyayang dan Maha Pengasih.
Dia tidak menggunakan nama-nama yang Al-Jabbar yang perkasa, tidak menggunakan namanya Mutakabbir yang disebabkan karena keagunganNya sehingga Dia menamakan diriNya arogan, untuk manusia nama itu tidak boleh digunakan.
Dia juga tidak mengedepankan namanya Al-Qawi yang sangat kuat, Al-Muhaimin yang menguasai, Al-Qahhar yang menaklukkan, Al-Muttaqin artinya balas dendam. Banyak nama-nama, tetapi kenapa justru Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengedepankan Ar-Rahman, Ar-Rahiim, mau menunjukkan bahwa Allah itu sangat penuh dengan rahmat.
Bahkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dikatakan bahwa pada hakekatnya ada 100 cabang rahmat, hanya satu rahmat itu yang diturunkan di bumi ini, 99 ada sama Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bahkan orang-orang yang sudah melakukan kesalahan- kesalahan berat, pada saat dia bertaubat Allah menerima kembali. Bukan saja menerima kembali tetapi menggantikan semua kesalahan-kesalahan yang besar itu menjadi amal yang baik.
“Man tāba wa āmana”, barang siapa yang kembali kepada Tuhan dan percaya. “Wa ‘amila ṣāliḥan”, nah, berbuat amal yang saleh. “Fa ulā`ika”, mereka itu, “yubaddilullāhu sayyi`ātihim ḥasanāt”, Allah akan menggantikan dosa-dosanya yang besar itu kepada amal kebajikan.
Allah mengatakan, “wasi’at raḥmatī kulla syaī`”, rahmatKu ini meliputi semua alam semesta ini. “Wa mā rabbuka biẓallāmil lil-‘abīd”, dan Allah sama sekali tidak akan berlaku zalim, berlaku semena-mena kepada hambaNya.
Dalam salah satu hadis Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, dilukiskan betapa rahmat Tuhan kepada hambaNya, itu lebih banyak kasih sayangNya, lebih besar kasih sayang Tuhan kepada hambaNya, dibandingkan dengan kasih sayang ibu terhadap bayinya.
Begitulah kira-kira, dari golongan Tasawuf ini selalu mengedepankan hal-hal yang bisa mengajak kepada kebajikan dan juga mencerminkan rahmat Tuhan kepada hambaNya.
Dari itu, aliran yang menekankan rahmat ini lebih longgar dalam melihat sesuatu, dibandingkan dengan mereka yang menitikberatkan kepada hukum yang sangat strict.
Tidak aneh kalau kelompok-kelompok hukum pada masa lalu banyak memvonis orang-orang Sufi orang-orang Tasawuf yang pandangannya menitikberatkan rahmat Tuhan, sehingga Al-Hallaj dibunuh, Sufi besar As-Suhrawardi dibunuh.
Ini dalam sejarah Islam datang Al-Ghazali mengambil jalan tengah dan mengatakan bahwa mereka itu sebenarnya tidak dosa, mereka mendapatkan ilmu dari Tuhan yang seharusnya tidak perlu diutarakan kepada masyarakat luas, tetapi mereka tetap percaya dan dekat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tetapi dari segi hukum mereka dianggap bahwa bermasalah.