Ditengah maraknya perilaku intoleransi di Indonesia, nilai luhur Pancasila mengenai keberagaman dan toleransi antarsesama masyarakat justru tampak di desa.
Seperti yang dialami pendeta Gereja Kristen Jemaat Tulung Agung (GKJTU), Salatiga, bernama Heru Purwanta.
Melayani jemaatnya di Salatiga, Pendeta Heru dan keluarga tinggal di sebuah desa kecil bernama desa Cangkringan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali.
Jumlah warga di Rukun Warga (RW) desa cangkringan berjumlah 80 keluarga yang mayoritas beragama Islam. Pendeta Heru dan keluarga menjadi satu-satunya yang beragama kristen di desanya.
Dalam suatu acara pelatihan kepemimpinan di Jakarta, sosok laki-laki paruh baya ini tampak bangga berpakaian khas daerahnya, batik lurik dan memakai blangkon, sambil menceritakan kehidupannya sebagai minoritas sekaligus pendatang di desanya.
Bagi Heru, menjadi minoritas di tengah mayoritas seringkali menimbulkan sedikit kekhawatiran tersendiri. Namun, kejadian yang tak terduga justru dialaminya. Ibarat mimpi di siang bolong, Heru terpilih menjadi kepala Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di desa cangkringan.
“Ini pengalaman berharga sekaligus unik bagi Saya. Sungguh luar biasa, saya bersyukur bisa menjadi kepala BPD berdampingan dengan kepala desa beragama muslim keluaran pesantren,“ ungkapnya.
Bertugas mirip anggota dewan perwakilan daerah, ia menjelaskan BPD juga membuat perencanaan kegiatan, mengesahkan anggaran, dan mengawasi jalannya pemerintah desa. Menghargai amanat yang diberikan warga, iapun mengabdikan dirinya sebagai ketua BPD dengan sebaik-baiknya.
Sosok yang kental dengan aksen Jawa ini menyadari betul akan perannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab. Ia berkomitmen untuk membangun warganya menjadi lebih baik.
Di sela kesibukannya melayani jemaatnya, Pendeta Heru tetap memikirkan cara menanggulangi kebiasaan yang sudah mengakar di desanya, yaitu politik uang atau money politic. Ia mulai melakukan pendidikan politik warga dengan membangun kesadaran warga bahwa setiap orang berhak untuk memilih dan dipilih sebagai kepala dusun, kepala desa atau perangkat desa.
“Bukan lagi bicara uang yang menang, melainkan siapa yang dikehendaki rakyat. Apabila warga menghendaki tokoh yang diinginkan terpilih, bantulah dengan apapun yang mereka bisa sumbangkan, itu tak melulu harus uang,” Pendeta Heru menceritakan bagaimana dorongan yang diberikannya kepada warga.
Dalam perjalanannya, tidak semua orang suka apa yang ia lakukan. Menyiasati tantangan yang ada, Pendeta Heru melakukan pendekatan kepada semua warga tanpa terkecuali. Perlahan tapi pasti, iapun kemudian bisa melihat hasil dari perjuangannya. Ketika mengecek beberapa kepala desa terpilih, Heru mendapati politik uang di desanya mulai berkurang.
“Dulunya biaya kampanye bisa menghabiskan biaya 100 juta Rupiah, sekarang hanya sekitar 20-25 juta. Jumlah yang jauh lebih kecil daripada desa lainnya,“ paparnya.
Kerja keras Heru pun mendapat apresiasi dari Kecamatan. Desa Cangkringan meraih penghargaan sebagai penyelenggaraan Pilkades terlancar dan berbiaya minim.