Masyarakat Indonesia dewasa ini sudah menerima pandangan bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka. Hal itu ditegaskan lagi oleh Mensesneg Moerdiono di dalam ceramahnya di depan para peserta penataran calon Manggala BP-7 Pusat Angkatan VII di Istana Bogor baru-baru-baru ini. Walaupun demikian, Mensesneg juga mengingatkan, keterbukaan ideologi Pancasila pada tataran nilai instrumental tidak berarti bahwa bangsa Indonesia juga membuka diri kepada wawasan paham komunisme.
Peringatan Mensesneg tersebut memang tepat, sehingga perlu diperhatikan. Perkembangan di Eropa Timur akhir-akhir ini memang menjadi indikator dan bukti yang jelas, betapa bangkrutnya paham komunisme itu. Lagipula, falsafah dan pandangan yang dijadikan dasar serta titik tolaknya, seperti atheisme dan materialisme, jelas bertentangan dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa kita, yaitu Pancasila. Dengan demikian, terbuka memang tidak berarti menerima apa saja. Keterbukaan yang dimaksudkan di sini ialah keterbukaan yang kritis dan selektif, sedangkan kriteria yang harus digunakan untuk itu adalah Pacansila itu sendiri, bukan ajaran atau paham lain. Dengan perkataan lain, keterbukaan Pancasila, bagaimanapun bukan keterbukaan yang tanpa batas. Dan batasnya itu tidak lain dan tidak bukan adalah Pancasila sendiri.
Di dalam tulisan ini hendak dicoba pemahaman lebih lanjut apa sebenarnya arti “ideoelogi yang terbuka” itu, dan mengapa demikian. Untuk itu terlebih dahulu perlu dipahami arti dari “ideologi” itu sendiri dan sehubungan dengan itu watak-watak yang dimilikinya.
Definisi Ideologi
Terdapat cukup banyak definisi tentang ideologi. Di dalam tulisan ini, dengan mempertimbangkan berbagai definisi yang ada, ideologi diartikan sebagai suatu sistem rancangan dasar tentang keadaan yang ideal yang hendak dicapai untuk menggantikan keadaan yang tidak memuaskan (baik pada masa lampau maupun masa kini) beserta jalan (strategi dan metode) untuk mencapainya, berdasarkan interpretasi atas keadaan yang tidak memuaskan itu, dengan bertolak dari suatu pandangan falsafah/pandangan hidup tertentu sebagai presuposisinya.
Definisi yang diberikan di sini agak panjang dengan harapan kiranya definisi tersebut dapat mencakup secara lebih lengkap dan menyeluruh berbagai pengertian dan aspek yang biasanya dikaitkan dengan ideologi. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa sebagai suatu sistem, ideologi merupakan hasil pemikiran yang menyeluruh dan matang. Ada sedikitnya tiga faktor di dalam pematangan pemikiran ideologi. Pertama, ia berpijak pada kenyataan, pada keadaan kongkret, pada kehidupan manusia/masyarakat yang riil. Kedua, ideologi lahir di bawah pengaruh atau rangsangan pemikiran/ideologi lain yang telah terlebih dahulu ada. Ketiga, ideologi bertolak dari suatu presuposisi pandangan hidup/pandangan falsafati tertentu (jadi sesuatu yang abstrak).
Dalam proses pematangan pemikiran ideologi tersejadi interaksi yang dialektis di antara ketiga faktor tersebut. Jadi, karena bertitik tolak dari suatu presuposisi pandangan hidup/filsafat tertentu, di dalam menginterpretasi dan mengevaluasi keadaan masa lampau dan kini, maupun di dalam merumuskan keadaan ideal yang dicita-citakan, ideologi akan menggunakan presuposisi tersebut sebagai acuan kriterianya.
Pada sebelah lain, karena berpijak pada kenyataan, yaitu keadaan kongkret yang dihadapi, termasuk pemikiran-pemikiran/ideologi lain yang ada, ideologi tidak hanya berpikir abstrak-falsafati yang telah dipunyainya sendiri saja, melainkan harus pula memperhatikan realitas yang ada tersebut. Dengan perkataan lain, agar ideologi dapat benar-benar berfungsi secara tepat dan efektif, ia perlu membuka diri terhadap realitas keadaan yang ada dan dihadapinya.
Walaupun demikian perlu disadari bahwa faktor presuposisi itu memegang peranan dan pengaruh yang paling besar dan menentukan dibandingkan dengan peranan dan pengaruh dari kedua faktor yang lain. Karena, faktor presuposisi boleh dikatakan merupakan “jiwa” yang membentuk identitas dan menjadi “warna” ideologi. Mengubah atau menggantikan unsur-unsur dasar presuposisi dengan unsur-unsur lain (apalagi yang justru bertentangan dengannya, berarti mengubah seluruh bangunan pemikiran ideologi yang semua. Dengan kata lain, merumuskan suatu ideologi yang baru.
Dengan demikian, keterbukaan ideologi sebagai akibat dari sikap yang mau menerima dan menyerap unsur-unsur yang berasal dari realitas keadaan dibatasi oleh seberapa jauh unsur-unsur yang menerima dan diserap itu tidak mengubah atau menggeser unsur-unsur dasar yang menjadi presuposisi dari ideologi tersebut.
Watak Ideologi
Berdasarkan uraian di atas, dapat dicatat beberapa watak yang dimiliki oleh ideologi. Pertama, interpretasi dan evaluasi terhadap keadaan kongkret dengan menggunakan kriteria yang bersumber pada presuposisi falsafati ideologi berwatak sebagai suatu pandangan hidup. Sebagai pandangan hidup, ideologi memberikan pandangan dasar tentang manusia dan kehidupannya. Di atas pandangan dasar itulah disusun rancangan dasar tentang keadaan dan kehidupan manusia yang ideal dan juga jalan (strategi dan metode) untuk mewujudkan yang ideal itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ideologi merupakan teori tentang kehidupan yang ideal dan jalan untuk mewujukan yang ideal itu. Berkaitan dengan itu, jelas ideologi menuntut keyakinan dan ketaatan dari para pengikutnya.
Kedua, sebagai pandangan hidup, ideologi mempunyai watak sebagai suatu sistem nilai. Karenanya, ideologi berfungsi memberi motivasi moral kepada penganutnya untuk berbuat, berjuang, mengabdi, dan berkorban demi terwujudnya ideologi.
Ketiga, sebagai pandangan hidup yang mengandung cita-cita kehidupan yang ideal maka ideologi berwatak sebagai pemberi harapan. Berkaitan dengan itu ideologi juga berfungsi sebagai sumber optimisme di dalam menghadapi persoalan masa kini dan masa depan.
Keempat, ideologi mengandung dalam dirinya rancangan dasar mengenai jalan untuk mewujudkan ide-ide, yang dipegang. Karenanya, ia menjadi landasan dan pedoman bagi penyusunan program-program kehidupan dan kegiatan di bidang-bidang sosial, ekonomi, pemerintahan dan sebagainya. Bersamaan dengan itu ideologi juga berfungsi sebagai kriteria evaluatif bagi perencanaan dan pelaksanaan program-program yang ada.
Kelima, sebagai pandangan hidup yang menuntut keyakinan yang dengan sistem nilainya memberi motivasi moral untuk berbuat, yang memberikan optimisme dan yang sekaligus juga menjadi landasan program, maka ideologi juga berwatak mempersatukan para penganutnya. Dalam hal suatu ideologi sudah diterima menjadi ideologi negara, watak mempersatukan itu sangat penting artinya untuk membawa warga negara dan kelompok-kelompok warganegara dengan latar belakang pandangan hidup dan pemikiran yang berbeda-beda itu di dalam satu kehidupan bersama yang tenteram dan harmonis.
Keenam, sebagai suatu pandangan hidup yang mendasarkan diri pada presuposisi falsafati beserta ajaran-ajaran yang ditarik darinya, ideologi juga memiliki watak cenderung untuk tertutup. Namun di pihak lain, mengingat bahwa ideologi juga berpijak pada realitas kongkret, maka ia juga berwatak terbuka. Ketegangan dialektis antara ketertutupan dan keterbukaan itu akan selalu mewarnai ideologi dan merupakan pergumulan terus-menerus yang harus diselesaikan dengan baik.
Pancasila sebagai Ideologi
Secara teoritis kaitan Pancasila dengan ideologi dapat terjadi melalui dua pemahaman. Yang pertama, Pancasila berfungsi sebagai dasar ideologi, dimana ideologi itu disusun dan dirumuskan berdasarkan Pancasila. Yang kedua, Pancasila itu sendirilah yang menjadi ideologi. Dalam hal ini kita berbicara mengenai Pancasila sebagai ideologi. Yang terjadi sekarang ialah pemahaman yang kedua. Artinya, kita memberlakukan Pancasila tidak hanya sebagai dasar untuk menyusun ideologi negara/bangsa. Melainkan Pancasila itu sendirinya yang menjadi ideologi negara/bangsa. Karenanya, kita berbicara mengenai Pancasila sebagai ideologi.
Sebagai suatu ideologi, Pancasila di dalam pematangannya juga mengandung tiga faktor yang telah disebutkan di atas, yaitu mempunyai presuposisi falsafati tertentu, berpijak pada kenyataan dan berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran lain yang ada. Lain dari itu, Pancasila sebagai ideologi juga memiliki watak-watak seperti telah disebutkan tadi. Yaitu, sebagai pandangan hidup, sistem nilai, pemberi harapan, program, pemersatu dan berada di dalam ketegangan dialektis antara ketertutupan dan keterbukaan.
Dengan memahami arti dan konsekuensi umum dari hakikat ideologi seperti terpapar tadi, serta mengacu kepada realitas sejarah mengenai kedudukan dan fungsi-fungsi Pancasila dan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini, kiranya jelas bahwa di dalam upaya mewujudkan Pancasila ideologi bangsa dan negara, perlu diperhatikan dan diperhitungkan watak-watak yang ada pada setiap ideologi, seperti telah dikemukakan di atas.
Berdasarkan hal itu kiranya juga jelas bahwa sebagai ideologi, Pancasila itu harus terbuka. Namun keterbukaan juga ada batasnya. Pembatasan itu tak lain dan tak bukan adalah presuposisi dan prinsip-prinsip dasar ataupun sila-sila dari Pancasila itu. Kalau presuposisi dan prinsip-prinsip dasar dari Pancasila itu diubah atau diganti (meskipun hanya sebagian), maka kita tidak dapat berbicara lagi mengenai ideologi Pancasila dengan demikian sebenarnya sudah terjadi suatu yang lain.
Apakah Pancasila sebagai ideologi sudah terumuskan secara lengkap dan menyeluruh sekarang ini, itu merupakan masalah lain. Menurut penulis, belum. Meskipun sebenarnya bahan-bahan untuk itu sudah cukup banyak.
SP, 25 Juni 1990
oleh Dr. Sutarno (Ketua Pengurus Akademi Leimena, 1990-1995)