Konsep baru pendidikan “Full Day School” dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Muhadjir Efendi, menuai banyak kritik. Mulai dari orang tua, pengamat pendidikan, hingga para pendidik atau pengajar di sekolah.
Isu utama full day school adalah tentang durasi pendidikan di sekolah, dan bobot mata pelajaran yang akan diberikan kepada siswa. Bukan pengalaman baru, setiap ide tentang pendidikan yang ditawarkan akan menuai beragam respons. Tak sedikit yang mengugat dan menolak kurikulum baru yang ditawarkan. Haruslah disadari, bahwa kurikulum memang bukan sesuatu yang harus disakralkan. Justru, kurikulum harus berkembang dan mengikuti kebutuhan zaman.
Seperti gagasan Full Day School (FDS), yang mengedepankan karakter murid sehingga harus beroperasi 5 (lima) hari sepekan. Awalnya, gagasan ini disetujui Presiden dalam rapat terbatasnya. Namun, saat hendak diterapkan, Presiden justru mengeluarkan kebijakan untuk menunda sementara pelaksanaan Permendikbud tersebut.
Keputusan Presiden menganulir otoritas Mendikbud, membingungkan bagi sekolah yang harus memulai ajaran baru pada pertengahan Juli 2017. Dampaknya, kepercayaan publik kepada kebijakan Kemdikbud semakin berkurang.
Pemerhati pendidikan dari Ikatan Guru Indonesia (IGI), Ahmad Rizali, menilai gagasan 8 jam belajar sehari adalah ide yang bagus untuk memberi keaktifan kepada anak didik. Sayangnya, kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini hanya merujuk pada praktik di sekolah tertentu yang tidak mewakili sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya.
Kebijakan FDS kurang tepat bagi sekolah-sekolah berbasis agama yang jam belajarnya berlangsung usai sekolah formal. Seharusnya, Kemdikbud memfasilitasi praktek-praktek pendidikan untuk menguatkan karakter murid melalui kerja sama lintas kementerian.
Inilah praktik dari kebijakan tentang pendidikan yang sering kali sekedar tambal sulam. Sedikit keberhasilan dan lebih banyak kegagalan yang terjadi. Konsep Full Day School contohnya, alih-alih mengubah peserta didik, malah menjejalkan banyak pelajaran kepada siswa-siswi di bangku sekolah.
Kemdikbud tidak perlu terburu-buru dan tergesa-gesa mengeluarkan suatu kebijakan. Mengingat tujuan mencerdaskan adalah tujuan bernegara, maka pendidikan yang baik harus bisa membebaskan jiwa anak-anak untuk berkreasi dan mengekspresikan perasaannya. Bukan sebaliknya, membebani anak dan menjadikan sekolah itu seperti penjara.
Sumber gambar: Istimewa