30 tahun Tarib memegang jabatan sebagai Tumenggung[1], banyak tantangan yang harus dihadapi untuk tetap mempertahankan hutannya.
“Selagi ada rimbo tetap hidup di rimbo, karena kito nak ninggalkan adat di rimbo itu dak bisa nian. Jadi selagi ada hutan tetap memakai adat rimbo.”
Hutan merupakan rumah terakhir bagi Tarib dan kelompoknya untuk bertahan hidup, setelah sebagian kawasan hutan lainnya dijadikan areal perkebunan dan pemukiman transmigrasi oleh pemerintah setempat.
“Tidak ada rimbo, tidak ada bungo. Tidak ada bungo, tidak ada dewa. Hutan kami bukan hanya tempat perteduhan, melainkan tempat kami memuja dewa pelindung kami – Bedike,” kata Tarib.
Kini suara merdu kicauan burung dan harumnya embun dari tanah tak lagi dapat mereka (red: Orang Rimba) rasakan, yang terdengar hanyalah gemuruh suruh mesin motor yang lalu-lalang dan bau asap knalpot. Tak sedikit akhirnya Orang Rimba yang memutuskan meninggalkan hutan dan pergi ke kota, walaupun kehidupan mereka di kota tak seindah ketika mereka tinggal di hutan.
“Sebagian teman-teman ada yang pergi ke kota dan banyak dari mereka yang menjadi pemulung, bahkan menjadi pengemis. Seandainya saja rumah kami tak diambil,” keluh Tarib.
[1] Pimpinan tertinggi dalam suatu kelompok masyarakat Rimba. Tugas utamanya adalah memastikan hukum adat di patuhi oleh anggota-anggotanya dan menyelesaikan konflik yang terjadi antara orang Rimba dan orang luar.
Disadur dari : Tesis Masyarakat Adat Orang Rimba – Provinsi Jambi, Budi Setiawan.
Foto Ilustrasi : lampungpro.com