Thalib adalah salah satu dari orang Bajo kelahiran Kabalutan, Sulawesi Tengah. Sejak remaja ia sudah mampu merakit bom ikan. Ia belajar dari pamannya yang sudah lebih dahulu melakukan babom (pemboman ikan di laut).
Beberapa kali Thalib dan kelompok babom yang ia pimpin tertangkap oleh polisi. Namun, saat itu ia masih bekerja pada seorang bos penampung ikan, masa tahanan yang ia jalani hanya beberapa hari saja karena sang bos dapat membayar uang tebusan untuk dirinya dan seluruh peralatan yang disita, termasuk perahu dan mesin katinting.
Demikian pula ketika ia tidak lagi terikat pada satu orang bos pun, saat ditangkap ia masih bisa dibebaskan karena membayar sejumlah uang jaminan pada polisi yang menanganinya. Jumlah uang yang ia bayar biasanya antara 500 ribu hingga 1 juta rupiah, tergantung negosiasi diantara mereka.
Akan tetapi, masalah hukum yang kini dihadapinya berbeda dan dirasakan lebih berat. Berawal ketika kelompok Thalib yang sedang babom mengalami kecelakaan di perairan sekitar Wakai. Saat itu, sebuah bom yang ada di atas perahu mereka meledak akibat Thalib salah menghubungkan kabel detonator dengan baterai. Dua orang anak laki-lakinya langsung meninggal dunia. Satu anaknya lagi yang kebetulan berada di laut sebagai pemantau ikan dan seorang keponakannya selamat, meski mengalami cidera serius.
Ketika ledakan menghancurkan perahu Thalib, anak dan keponakannya yang selamat serta Thalib masih mampu bertahan di atas laut. Mereka mencoba menyelamatkan dua kerabatnya yang sudah tak bernyawa dengan cara berenang mencapai pulau Kadiri. Agak lama mereka mengapung di laut hingga akhirnya sebuah perahu nelayan yang sedang menuju Wakai menemui mereka dan membawanya ke Wakai.
Dari Wakai, beberapa orang dan kepolisian pelabuhan segera menuju lokasi kejadian untuk menjemput dua korban yang meninggal. Thalib mengaku pasrah ketika dibawa ke Wakai untuk mendapatkan pengobatan karena setelah pengobatan usai, ia beserta anak dan keponakannya langsung mendekam dalam penjara karena dianggap melanggar hukum hingga menyebabkan kematian. Ia juga kehilangan kompresor, perahu dan mesin katintingnya yang tenggelam.
Setelah berapa lama mendekam dalam penjara, berkat uang jaminan yang dikumpulkan Asnah (istri Thalib), Thalib beserta anak dan keponakannya diperbolehkan pulang ke Kabalutan. Khusus bagi Thalib, ia diwajibkan datang ke polsek Una seminggu sekali. Pasca penahanan ini ternyata bukan hal yang meringankan masalah bagi Thalib dan istrinya. Mereka merasa makin sulit mengikuti proses hukum yang sedang dilakukan polisi dan kejaksaan.
“Lihatlah saja bang, sudah tidak ada lagi harta saya. Termasuk perabot masak di lemari, sudah habis semua saya jual untuk urus Thalib ke polisi,” cerita Asnah. Asnah memperkirakan jumlah uang yang telah ia keluarkan mencapai lebih dari 10 juta rupiah. Semua itu untuk menjamin bahwa kasus Thalib tak dilimpahkan ke pengadilan dan ia tetap berstatus wajib lapor. Lebih jauh Asnah berharap Thalib bisa bebas begitu saja sebagaimana pelaku pemboman lainnya yang pernah di tangkap.
Kali ini, Thalib sudah beberapa minggu tidak menjalankan wajib lapor di Wakai. Uangnya sudah habis, ia mulai khawatir kepolisian akan menangkapnya lagi dan memasukkannya ke dalam penjara. Selama menjalani status wajib lapor, Thalib sudah tidak lagi melakukan pemboman ikan. Ia hanya balobe (menangkap ikan dengan menggunakan tombak) mencari taripang dengan beberapa nelayan lainnya.
Untuk dapat bisa mencari taripang dan ikan-ikan lainnya di lintas desa, Thalib dan kawan-kawan nelayannya harus membawa surat keterangan dari kepala desa bahwa mereka merupakan nelayan warga desa Kabalutan yang tidak mencari ikan dengan babom. Surat ini bagaikan ‘jaminan’. Setidaknya sejak ia balobe membawa surat keterangan, ia dan kawan-kawan tak pernah lagi diusir saat mencari hasil laut di sekitar Dolong atau desa lain.
Sayangnya, umur Thalib tak lama. Kesalahan yang sama seperti di Wakai telah ia lakukan, Thalib pun yang menjadi korban. Menurut Asnah, Thalib sesungguhnya tak lagi mau melakukan pemboman. Tapi, semakin lama Thalib makin membutuhkan uang karena kasus hukumnya tetap berlanjut. Penghasilan dari balobe taripang dan menjaring ikan dianggapnya kurang memadai dan lambat mendapat hasil dibanding menggunakan bom.
Sumber : Menjadi konservasionis: Konstruksi Identitas Sosial Oleh Orang Bajo dalam Program Konservasi Alam Di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Oleh, Sundaya (UI – Depok, 2008)
📷 Ilustrasi : HajarHajirFiles.blogspot