Selain isu radikalisme dan toleransi, DPR kembali menarik perhatian masyarakat melalui keputusannya untuk melakukan hak angket terhadap KPK.
Padahal, hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan, hak angket yang digulirkan DPR RI bukan merupakan hasil aspirasi rakyat. 65 persen responden menilai langkah DPR yang menggunakan hak angket terhadap KPK, tidak dapat dibenarkan.
Hanya 29,5 persen responden yang menyatakan langkah DPR menggunakan hak angket bisa dibenarkan, sementara 5,6 persen responden menjawab tidak tahu atau bahkan tidak menjawab. Meski tidak bisa jadi patokan, survei ini cukup menggambarkan aspirasi masyarakat terhadap keputusan hak angket KPK.
Masyarakat cenderung melihat kasus ini sebagai isu pelemahan KPK yang dilakukan melalui intervensi politik DPR. Usulan hak angket ini bermula dari kasus mega korupsi KTP elektronik yang melibatkan beberapa politisi senayan dalam kasus tersebut.
Dilansir dari CNN Indonesia, pembentukan panitia khusus hak angket KPK oleh DPR cacat hukum; baik dari segi subjek, objek, dan prosedurnya. Mengacu pada Pasal 24 ayat 1 UUD 1945, Pasal 3 UU KPK, dan Pasal 79 ayat 3 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, hak angket DPR terhadap KPK cacat subjek.
Pemerintah yang dimaksud adalah presiden, wakil presiden, menteri, jaksa agung, kapolri, dan lembaga pemerintah non-kementerian. Menurut Mahfud MD, KPK bukan lembaga pemerintah.
Selain itu, pembentukan pansus juga cacat objeknya karena diduga melanggar undang-undang. Hal ini terlihat dari pemaksaan ketok palu meski tidak kuorum dalam pengambilan keputusan saat sidang paripurna pada April lalu.
Dari segi materi, hak angket DPR seharusnya strategis dan menyangkut hal penting di luar permasalahan rutin dihadapi KPK. Seperti pembahasan keterangan palsu anggota fraksi Hanura Miryam S Haryani.
Bahaya korupsi yang dilakukan bergotong-royong telah melanggar nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Penyalahgunaan hak oleh DPR dengan mengambil keputusan Hak Angket KPK meski tidak kuorum, mendorong masyarakat bertanggungjawab untuk mengawasi DPR.
Semisal, unjuk rasa bertajuk #IndonesiaWaras di gedung KPK dan di beberapa daerah terus bergulir. Ini bentuk penolakan terhadap Hak Angket KPK oleh DPR, dan dukungan massa kepada KPK.
Selain itu, pendapat atau opini, hasil diskusi, kajian dan penelitian bisa memberi masukan dan kritikan bagi DPR. Hal ini bisa disampaikan melalui tulisan di media online, Koran, radio, jurnal, ataupun laporan penelitian.
Terakhir, perhatikan orang dan partai yang terlibat di DPR yang menyetujui hak angket KPK. Gunakan otoritas dan hak warganegara untuk menarik dukungan dari partai-partai tersebut dalam pemilihan-pemilihan selanjutnya. (EOS)
Sumber gambar: Kompas.com