Sudah hampir 6 bulan hujan tak kunjung turun di kampung kami. Para petani mulai panik, lahan persawahan kering kerontang. Kegelisahan yang sama juga dialami bapak, ia takut kalau panen padinya akan gagal tahun ini, “kemarau tahun ini sangatlah berat. Kalau hujan tak turun juga, sepertinya kita harus merelakan lahan kita di kulon untuk membayar hutang bapak pada tengkulak.” Ucapan bapak membuat hatiku menjadi sedih, entah bagaimana caranya aku bisa membantu bapak.
Malam itu terdengar suara ceneng, tanda bahwa para warga harus berkumpul. Setelah semua warga datang, uwa Hasan selaku kepala kampung, maju kedepan. Ia memberitahukan kepada kami petunjuk yang diperolehnya saat melakukan tirakat (berdoa sambil tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur selama tiga hari tiga malam). “Setelah aku bertirakat, maka aku pun mendapat petunjuk dari Sang Kuasa bahwa warga Luragung ini harus melakukan ritual Cingcowong.” Wangsit yang didapat uwa Hasan itu pun disambut gembira oleh warga. Ritual Cingcowong ini sudah menjadi tradisi turun-temurun kampung kami untuk mengatasi musim kemarau berkepanjangan. Namun, ritual ini tak dapat sembarang dilakukan sebelum pemimpin kampung atau punduh memperoleh wangsit dari Sang Kuasa.
Malam Jumat dijadikan hari dilaksanakannya ritual, para warga Luragung pun bahu-membahu mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk pelaksananaan ritual ini. Mbah Wita, satu-satunya punduh yang menerima warisan mantera Cingcowong, tak kalah sibuk mempersiapkan diri untuk memimpin ritual ini. Beberapa benda yang wajib seperti : Taraje (tikar), kemenyan, cermin, sisir, bunga kamboja, dan boneka Cingcowong turut dipersiapkan. Boneka Cingcowong itu sendiri terbuat batok kelapa, bertubuhkan bambu yang dihias bak perempuan cantik yang memakai baju indah dan berkalungkan bunga melati. Boneka Cingcowong inilah yang nanti akan menjadi sarana makhluk halus untuk berdiam selama prosesi upacara.
Setelah menunggu lama, upacara pun akhirnya dimulai. Mbah Wita sebagai pemimpin ritual akan dibantu oleh 2 orang punduh lainnya, mbah Ning dan Waskini. Mereka berdua bertugas membantu mbah Wita memegang boneka Cingcowong. Uwa Hasan pun turut membantu memainkan alat musik berupa buyung yang biasa dipakai sebagai alat penyimpan air terbuat dari tanah liat, Kang Asep memainkan alat musik berupa bokor atau ceneng yang biasa dipakai sebagai vas bunga terbuat dari bahan tembaga/kuningan. Dan Ibu Warti berperan sebagai Sinden.
Sementara musik dimainkan dan mantra-mantra diucapkan oleh punduh, tiba-tiba boneka Cingcowong itu pun bergerak kesana kemari secara sendiri. Sepertinya, mahluk halus yang diundang punduh telah datang dan merasuk ke dalam boneka tersebut. Aku yang menyaksikannya, merasakan bulu kudukku mulai berdiri, berbeda dengan bapak dan para warga sepuh lainnya yang sepertinya sangat tenang karena sudah terbiasa menyaksikan ritual ini. Semakin boneka itu bergoyang dengan kencang, mbah Wita juga semakin keras mengucapkan mantra-mantra. Suasana pun semakin memuncak, boneka tersebut seperti mengabulkan setiap permintaan mbah Wita karena tak berapa lama kemudian hujan pun turun.
Setelah dilaksanakan ritual Cingcowong, warga desa tak lagi risau. Hujan turun dengan lebatnya, pertanian pun kembali subur, pohon-pohon kembali hijau. Ungkapan syukur pun digelar masyarakat dengan berbagai kesenian khas Kuningan, satu diantaranya dengan menggelar ritual sedekah bumi yang mengarak hasil pertanian.
Disadur dari berbagai sumber
Seni ritual Cingcowong yakni sebuah ritual memanggil hujan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Kuningan, khususnya di Kecamatan Luragung.
Foto Ilustrasi : infobudaya