Bak pahlawan yang gagah perkasa, Ayah menyarungkan Badik Gecong di pinggangnya. Menurut penuturannya, Badik Gencong memiliki racun pada bilahnya. Sekali melukai, lawan tak akan butuh waktu lama untuk menghembuskan nafas terakhirnya. Salah satu badik milik Ayah ada yang berjenis Sapu Kala tak berluk (tidak berlekuk). Konon badik ini merupakan milik Datu (Raja) di Kerajaan Appanang, La Tenro Aji Matinroe ri Tenggana Appanang yang memerintah dalam abad ke-17 di Soppeng. Akan tetapi, badik itu sendiri diperkirakan sudah dibuat sejak masa To Manurung di Sulsel, abad X.
Sejak aku kecil, ayah memang senang mengoleksi dan memelihara aneka badik warisan leluhur. Baginya, di dalam badik kecil tersimpan kekuatan tersembunyi yang dapat menjaganya dari orang-orang yang berniat jahat. Itu sebabnya, Badik Gecong koleksinya dibersihkan dari karat sekali dalam setahun dengan cara tradisional, menggunakan air dari perasan jeruk nipis. Tidak jarang aku merasa kebiasaan ayah ini kuno dan membuang-buang waktu saja, tapi jawaban yang sama akan selalu kudengar, ‘’Ini warisan leluhur yang diamanahkan orang untuk Ayah simpan dan pelihara,’’ katanya.
Dalam awal-awal tahun mengumpul pemberian badik, Ayah mengakui pernah mengalami hal aneh. Lemari tempat pengumpul benda-benda leluhur tersebut pada malam hari, sering terdengar terketuk-ketuk. Seolah badik-badik itu beraduk-aduk. Bahkan pernah ada sebuah badik yang setiap kali ditinggalkan di kamar tempat tidurnya, orang lain justru takut masuk karena mendapatkan seekor ular yang meliuk-liuk di atas kasurnya.
‘’Setelah ayah tidak menaruh badik itu di kamar, tak pernah lagi ditemukan ular. Aneh, tapi dengan kalimat Allah semua hal yang terjadi tersebut telah tiada, badik tak lain adalah badik,’’ demikian penuturan Ayah padaku.
Sudah silih berganti orang yang datang hendak membeli sejumlah Badik Gencong yang dimilikinya. Bahkan dengan tawaran nilai rupiah yang amat menggiurkan, sampai ratusan juta, tapi Ayah tak juga melepasnya. Baginya, amanah leluhur lebih berharga dibandingkan jutaan rupiah.
Disadur dari : “Putra, Pemilik Kawali (Badik) Lagecong Mengapung di Air” (Mahaji Noesa)