Ditulis oleh Nina Nurmila, Phd.
Pendahuluan
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak lahir (bahkan ada yang mengatakan sejak dalam kandungan) karena dirinya adalah manusia. Hak ini bersifat universal, tanpa batas kenegaraan. Seluruh negara berkewajiban untuk memastikan terpenuhinya HAM tanpa melihat apakah orang tersebut merupakan warga negaranya atau bukan. HAM itu di antaranya meliputi hak untuk hidup, mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak berpolitik, mengeluarkan pendapat dan beragama. Sementara Hak Warga Negara adalah hak yang dimiliki seseorang karena ia merupakan warga Negara tertentu, misalnya Warga Negara Indonesia (WNI). Hak sebagai warga negara hanya terbatas dimiliki oleh orang yang memiliki kewarganegaraan tertentu. Jadi hak warga negara lebih sempit dibanding HAM yang sifatnya universal dan tanpa batas negara. Cakupan hak warga Negara hampir sama dengan HAM kecuali dalam hak membela Negara, yang juga sekaligus merupakan kewajiban warga Negara.
Warga Negara Indonesia (WNI) menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 45) Pasal 26 adalah orang Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan sebagai warga Negara. Kepada para WNI diberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) saat mereka sudah berusia 17 tahun. Kartu ini memiliki Nomor Induk Kependudukan, yang merupakan nomor identitas yang unik. Sementara dalam berhubungan secara internasional, Negara bisa memberikan passport sebagai bukti identitas warganya.
Pada umumnya, manusia memiliki kewarganegaraan. Namun tidak semuanya demikian. Konflik politik misalnya seperti yang terjadi di Suriah saat ini memaksa orang bermigrasi dalam keadaan darurat sehingga mereka tidak sempat menyiapkan atau membawa surat-surat penting dalam bermigrasi untuk menyelamatkan nyawa mereka. Belum lagi jika migrasi ini melibatkan perempuan yang sedang hamil, yang kemudian melahirkan di tempat migrasi. Ini misalnya terjadi pada Rasha, seorang ibu hamil yang mengungsi ke Yordania, tanpa suaminya yang ditangkap pemerintah Suriah karena menolak wajib militer. Saat di kamp pengungsian, Rasha melahirkan dua anak kembar. Kedua anak ini tidak memiliki dokumen kenegaraan apa pun (stateless) dan tidak bisa dibuatkan akta kelahiran karena Rasha tidak sempat membawa surat nikah dan dia tidak lagi mengetahui apakah suaminya masih hidup atau sudah meninggal (Media Indonesia, 16 Juni 2015: 23). UNHCR (Badan Pengungsi PBB) mencatat bahwa ada sekitar 10 juta orang di seluruh dunia berstatus tanpa kewarganegaraan (stateless or no nationality), jumlah yang setara dengan populasi penduduk dua Negara Scandinavia yaitu Norwegia dan Denmark (Media Indonesia, 16 Juni 2015: 23). Mereka itu diantaranya adalah pengungsi Antonio Guterres di kamp pengungsi Dabaab, Somalia, yang berasal dari Kenya yang dilanda kekerasan bersenjata; para pengungsi Burundi yang dilanda kekerasan dan ketegangan politik yang mengungsi ke Tanzania; dan kelompok masyarakat dari etnik Rohingya beragama Islam yang tidak diakui sebagai warga Negara Myanmar yang mayoritas beragama Buddha serta mengalami kekerasan dari kelompok radikal Buddha.
Mereka yang tidak berkewarganegaraan ini sangat rentan menjadi korban pelanggaran HAM seperti perdagangan dan penyelundupan manusia. Karena tidak adanya pengakuan dari Negara, maka mereka rentan terhadap diskriminasi dalam mengakses layanan kesehatan dan pendidikan. Kondisi mereka di pengungsian ataupun di perjalanan menuju Negara tujuan pengungsian juga sangat mengenaskan, bahkan tidak jarang menelan banyak korban yang meninggal karena kelaparan atau sakit karena tidak adanya layanan kesehatan. Ketika terjadi pelanggaran HAM, misalnya pengusiran terhadap kelompok etnik Rohingya, yang kemudian mengungsi ke Negara Malaysia, Australia atau Indonesia, mereka idealnya dipenuhi HAMnya dengan diberi pertolongan, tidak diusir kembali ke laut begitu saja walau mereka diberi perbekalan makanan.
Di Indonesia sendiri, sekalipun memiliki kewarganegaraan, terkadang hak sipil mereka sebagai warga Negara dilanggar. Ini terjadi misalnya pada kelompok penganut agama minoritas seperti penganut agama Kristen, Kong Hu Chu (pada masa Orde Baru) dan penganut kepercayaan. Karena aliran kepercayaan tidak dianggap sebagai agama resmi Negara Indonesia, maka para penganutnya rentan terhadap diskriminasi dan kekerasan. Misalnya kepercayaan mereka secara system tidak dapat dimasukan ke dalam kartu identitas (KTP) mereka; ketika mereka menikah sesuai dengan kepercayaan mereka, pernikahannya sulit dicatatkan Negara; tidak adanya surat nikah membawa implikasi negatif lainnya misalnya ketika mereka memiliki anak, anak mereka sulit mendapat akte lahir; tidak memiliki akte kelahiran berimplikasi kepada banyak hal terutama dalam mengakses hak mereka atas pendidikan, layanan kesehatan dan kesempatan kerja; bahkan ketika meninggal pun para penganut kepercayaan ini tidak jarang ditolak mengakses Tempat Penguburan Umum (TPU).
Filosofi Dasar dan Sejarah Perkembangan HAM
Filosofi dasar HAM adalah pandangan bahwa setiap manusia, apapun agama, ras dan jenis kelaminnya, baik ia cacat atau tidak, memiliki martabat yang sama di dalam dirinya. Ia setara dalam kehidupan ini, walaupun memiliki cara hidup yang beragam. Martabat itu sudah ada di dalam jati diri setiap orang, dan akan terus ada. Ia menjadi tanda, bahwa setiap orang itu, pada dasarnya, berharga dan tak tergantikan.
Sedangkan filosofi dasar HAM di Indonesia terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang kemudian secara rinci dijabarkan dalam Pasal 28A-J. Pembukaan UUD NRI 45 alinea pertama menyatakan bahwa kemerdekaan merupakan hak asasi bangsa:
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Pada awalnya, UUD NRI 45 belum memiliki pasal-pasal yang teperinci tentang HAM seperti yang tercantum dalam Pasal 28A-J sekarang ini. Hal ini di antaranya karena waktu yang begitu singkat dalam menyiapkan kemerdekaan Indonesia sehingga para founding fathers yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia membuka ruang untuk dilakukannya amandemen terhadap UUD 45 seperti halnya yang tercantum dalam UUD 45 Bab XVI tentang Perubahan Undang- Undang Pasal 37 (Produk Hukum.net, 2015). Selain itu, perhatian dunia pun baru terfokus pada perumusan HAM pada 10 Desember 1948 dengan dikeluarkannya Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM) dalam meresponi banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi pada Perang Dunia ke 2.
Pasal 28A-J yang mengatur tentang HAM merupakan hasil amandemen UUD 45 yang baru dilakukan setelah Era Reformasi, yaitu tahun 1999-2002. Era Reformasi dimulai setelah jatuhnya regim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto yang berkuasa di Indonesia sejak 1966-1998 (32 tahun). Presiden Soeharto sendiri menggantikan pemerintahan Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945 sampai 1965 (20 tahun). Berdasarkan perjalanan panjang Indonesia sejak merdeka sampai Era Reformasi, maka dipandang perlu untuk melakukan amandemen terhadap UUD 45. Dalam melakukan amandemen ini disepakati bahwa Preambule (Pembukaan UUD 45) tidak diubah, demikian halnya dengan bentuk negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Amandemen terhadap UUD 45 ini merupakan semangat reformasi yang di antaranya ditujukan untuk membangun sistem politik check and balance, kebebasan pers, penghormatan terhadap HAM dan supremasi hukum, yang banyak diabaikan pada masa Orde Baru. Sistem politik check and balance di antaranya diwujudkan dengan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan lima tahun dan presiden terpilih hanya boleh menjabat maximal untuk dua periode (Tobing, 2015).
Dimasukannya aturan tentang HAM ke dalam perundang-undangan Indonesia seperti yang telah dikemukakan sebelumnya sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak tahun 1945 sudah ada perdebatan apakah HAM perlu dimasukan dalam perundang-undangan Indonesia atau tidak. Terdapat dua kubu yang bersebrangan dalam hal ini, yaitu kubu Soekarno-Soepomo dan Hatta-Yamin. Kubu Soekarno- Soepomo memandang HAM sebagai sesuatu yang negatif karena bersifat individualistis yang dipandang lebih cocok dengan karakter orang Barat, tidak cocok untuk masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi kekeluargaan dan kebersamaan. Sedangkan kubu Hatta-Yamin meyakinkan pentingnya dimasukan HAM dalam konstitusi Indonesia karena keduanya memandang bahwa kerakyatan sama dengan kedaulatan rakyat, yang berbeda dengan kedaulatan individu yang diakui Negara Barat. Diakuinya kedaulatan rakyat sangat penting untuk mencegah Indonesia menjadi Negara Maachstaat (negara kekuasaan yang otoriter), dan dapat mempertahankan Indonesia menjadi Negara Rechtstaat (Negara hukum) yang dapat mengatur dan membatasi kekuasaan. Dengan argumentasi ini maka Indonesia mengadopsi HAM dalam konstitusinya.
Selain itu, pada masa presiden yang ketiga yaitu pada masa Presiden BJ Habibie (1998-1999), yang merupakan masa peralihan dari masa Orde Baru ke masa Reformasi, telah dikeluarkan Ketetapan MPR RI No. XVII/1998 mengenai Hak Asasi Manusia yang di dalamnya tercantum Piagam HAM Bangsa Indonesia dalam Sidang Istimewa MPR RI 1998, dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya UU No. 39 Tahun 1999. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut telah mengakomodir Universal Declaration of Human Right. Sedangkan isi perubahan UUD 1945 yang tercantum dalam Pasal 28A-J adalah merujuk pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut, dengan perumusan kembali secara sistematis (Tobing, 2015).
Pencantuman HAM secara detail dalam UUD NRI 45 sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia menunjukkan begitu pentingnya pengaturan dan pemenuhan HAM di Indonesia. Pemenuhan HAM yang tercantum dalam konstitusi ini merupakan kewajiban Negara. Namun dalam proses dimasukannya pasal-pasal tentang HAM ini tidak terlepas dari perdebatan seperti yang pernah terjadi pada tahun 1945. Dalam proses amandemen UUD 45, ada juga anggota MPR yang mencurigai HAM sebagai konsep Barat yang menekankan nilai-nilai individualisme yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kolektivitas dan nilai-nilai agama. Pasal 28I ayat 1 terutama tidak dapat diterima dan perdebatan tentang pasal ini hampir deadlock. Namun kesepakatan kemudian dapat dicapai dengan dimasukannya Pasal 28J yang merupakan pembatasan dari pemenuhan HAM itu sendiri. Yaitu bahwa Pasal 28I tidak dapat ditafsirkan dan dilaksanakan secara independen tanpa disertai Pasal 28J: pemenuhan hak asasi manusia harus dilakukan secara bertanggung jawab dengan disertai penghormatan terhadap pemenuhan hak orang lain.
Perdebatan lain yang terjadi dalam proses amandemen UUD 45 tentang HAM adalah saat dirumuskannya Pasal 28E. Sebagian anggota MPR ingin memasukan kata “dan kepercayaannya itu” setelah kata agama dalam ayat 1 seperti yang telah tertuang dalam Pasal 29 untuk dapat mengakomodir kelompok aliran kepercayaan, sementara yang lainnya tidak setuju memasukan kata tersebut. Namun perdebatan ini dapat diakhiri dengan memasukan ayat 2 yang di dalamnya mengakui hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya (Tobing, 2015). Isi dari pasal-pasal tentang HAM dan Hak Warga Negara tersebut akan diuraikan di bagian berikut ini.
HAM dan Hak Warga Negara dalam Konstitusi Indonesia
Adapun rincian HAM yang tercantum dalam UUD NRI 45 Pasal 28A-J adalah sebagai berikut:
BAB XA
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
HAM di atas di antaranya dapat dirangkum sebagai berikut: bahwa setiap manusia berhak untuk hidup, berkeluarga dan melanjutkan keturunan, mengembangkan diri dengan memperoleh pendidikan, berhak mendapatkan pekerjaan, beragama, bersikap dan berpendapat, berserikat, berhak atas rasa aman dan perlindungan dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun, berhak atas kesejahteraan sosial, persamaan dan keadilan.
Sedangkan Hak Warga Negara yang tercantum dalam UUD NRI 45 di antaranya adalah meliputi:
1. Hak atas kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1): (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
2. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2): (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3. Hak untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing yang dipercayai (Pasal 29):
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
4. Hak memperoleh pendidikan (Pasal 31): (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
5. Hak untuk membela Negara (Pasal 27 ayat 3): (3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
6. Hak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sesuai undang-undang yang berlaku (Pasal 28): Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Dari uraian di atas, nampak banyaknya persamaan antara HAM dan hak sebagai warga Negara, yang membedakan di antaranya adalah hak untuk membela Negara, yang juga sekaligus merupakan kewajiban sebagai warga Negara.
Implementasi Pemenuhan HAM dan Hak Warga Negara di Indonesia
Seperti yang sudah dikemukakan secara sekilas dalam Pendahuluan, meskipun Indonesia sudah memiliki Undang-Undang, baik Undang-Undang Dasar NRI 1945 ataupun Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, namun tidak sedikit pelanggaran HAM ataupun Hak Warga Negara yang dilanggar. Mereka yang rentan menjadi korban pelanggaran atas HAM dan Hak Warga Negaranya di antaranya adalah kelompok yang beragama minoritas seperti kelompok Syi`ah, Ahmadiyah, non- Islam, penganut kepercayaan dan para perempuan. Kelompok Syi`ah dan Ahmadiyah seringkali
dituding sebagai aliran sesat atau bukan sebagai Muslim oleh kelompok Muslim Sunni mayoritas, sehingga mereka rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi, seperti yang terjadi di Sampang dan Kuningan. Di Sampang, kelompok Muslim Syi`ah diusir dari tempat tinggalnya dan rumah mereka dibakar sehingga mereka terpaksa harus mengungsi ke Sidoarjo sejak Agustus 2012. Para pengungsi ini ingin kembali ke kampung halamannya, namun para ulama di Sampang, Madura, hanya mau menerima kembali para penganut Syi`ah ini jika mereka mau “bertobat” untuk meninggalkan faham Syi`ah dan menjadi Sunni, yang tidak disetujui oleh para kelompok Syi`ah ini (BBC, 2013). Di tempat pengungsian, banyak HAM dan hak mereka sebagai warga negara yang terlanggar seperti hak terhadap pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk mengakses pendidikan dan hak untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing yang dipercayai.
Sama halnya seperti yang terjadi pada kelompok Syiah, kekerasan juga banyak dialami oleh kelompok Ahmadiyah terutama setelah dikeluarkannya fatwa MUI pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah itu bukan Islam dan termasuk aliran sesat sehingga pemerintah diwajibkan melarang penyebaran Ahmadiyah, membekukan organisasi dan menutup semua tempat kegiatannya di Indonesia. Implikasi dari fatwa ini adalah meningkatnya kasus kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di hampir seluruh wilayah Indonesia seperti Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat. Jawa Barat merupakan wilayah yang terbanyak penduduknya yang mengalami kekerasan yaitu mereka yang tinggal di Garut, Tasikmalaya, Kuningan, Bogor, Bandung dan Cimahi. Kekerasan yang mereka alami di antaranya berupa serangan fisik, psikis, tidak dapat memiliki KTP, tidak bisa mencatatkan pernikahan mereka, pengrusakan harta benda, penutupan mesjid, pelarangan untuk beribadah dan pemecatan. Akibat dari kekerasan tersebut ada yang meninggal dunia, ada yang terluka berat karena tusukan dan ada yang terusir dari tempat tinggalnya (ELSAM, 2014). Semua ini tentu saja merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hak Warga Negara yang idealnya mereka bisa beribadah menurut agama dan kepercayaannya, berhak untuk hidup, berhak atas pekerjaan dan terlindung dari tindak kekerasan dan diskriminasi.
Kekerasan dan diskriminasi juga tidak hanya terjadi pada umat Islam yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan kelompok mainstream Sunni Muslim, melainkan juga pada para penganut agama minoritas seperti pemeluk agama Kristen, Kong Hu Chu dan penghayat kepercayaan. Ini terjadi misalnya pada para Jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor yang mengalami kekerasan dari kelompok yang menamakan dirinya Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami) yang mengusir para jemaat GKI Yasmin dari gereja saat mengadakan misa serta disegelnya gereja mereka sehingga mereka terpaksa beribadah di trotoar jalan (Kompas, 31 Oktober 2011).
Pada masa Orde Baru, agama Kong Hu Chu tidak lagi diakui secara resmi, bahkan para penganutnya dibatasi geraknya hanya dapat beribadah di lingkungan keluarganya saja. Pernikahan mereka pun ditolak untuk dicatatkan. Penolakan pencatatan pernikahan bagi para penganut agama Kong Hu Chu dan penganut kepercayaan adalah berdasar pada:
- Surat Menteri Agama Republik Indonesia Nomor MA/650/1979.
- Surat Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor R-489/D.1/6/1983.
- Surat Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 477/2535/PUOD/90 tanggal 25 Juli 1990.
- Surat Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 474.2/309/PUOD/95 tanggal 19 Oktober 1995.
- Surat DPR Republik Indonesia Nomor PW 006/3249/DPR RI/1996 tanggal 12 Juli 1996.
Surat-surat tersebut di atas melarang Kantor Catatan Sipil untuk mencatat atau mendaftar perkawinan para penganut agama Kong Hu Chu dan aliran kepercayaan (ELSAM, 2014). Pada masa Presiden Republik Indonesia yang keempat, yaitu masa Presiden Abdurrahman Wahid, agama Kong Hu Chu kembali diakui secara resmi oleh Negara. Namun aliran kepercayaan masih belum mendapat pengakuan yang sama oleh Negara walaupun aliran kepercayaan merupakan agama pribumi yang sudah ada sejak sebelum datangnya agama dari luar Indonesia yang kini dinyatakan sebagai agama resmi Negara yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu.
Selain yang telah dilaporkan oleh ELSAM dan media lainnya, Komnas Perempuan (2014) juga melaporkan pelanggaran hak kebebasan beragama yang dialami penganut agama minoritas lainnya seperti penganut agama Baha’i, Huria Kristen Protestan Batak (HKPB) Filadelfia dan Ciketing, selain juga yang dialami penganut Ahmadiyah dan Syi`ah. Kelompok minoritas ini terlanggar hak asasinya akan pekerjaan (dipecat ketika diketahui sebagai penganut Baha`i atau Ahmadiyah) dan akan penghidupan yang layak ketika mereka harus hidup di pengungsian karena diusir oleh masyarakat setempat. Berdasarkan temuan ini, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Presiden agar bertindak tegas dalam meresponi isu intoleransi ini, yaitu di antaranya dengan (1) memerintahkan Kepala Daerah untuk tunduk kepada hukum termasuk memastikan jaminan keamanan bagi penyelenggaraan ibadah Natal 2014; (2) memerintahkan Kepala Daerah dan Menteri Agama untuk memfasilitasi perbaikan rumah ibadah yang dirusak dan disegel serta menyediakan rumah ibadah bagi komunitas minoritas yang belum dapat memenuhi prasyarat pendirian rumah ibadah; (3) memerintahkan pemulangan pengungsi korban intoleransi agama, yaitu jemaah Syiah dan Ahmadiyah dengan disertai jaminan keamanan; (4) memerintahkan penanganan komprehensif bagi korban intoleransi dengan perhatian khusus pada perempuan dan anak sesuai dengan UU Penanganan Konflik Sosial.
Selain itu, Komnas Perempuan (2014) juga menjelaskan tentang kerentanan perempuan terhadap pelecehan seksual selama masa pengungsian dan walaupun bersama-sama menjadi korban intoleransi bersama suaminya, mereka cenderung lebih banyak menanggung kerugian akibat tindakan intoleransi beragama ini. Misalnya, ketika akses untuk mendapatkan KTP ditolak, ini berakibat pada sulitnya mengakses hak bantuan dari Negara seperti akses terhadap layanan kesehatan, terutama layanan kesehatan reproduksi. Selain itu, ketika pernikahan mereka tidak dapat dicatatkan, mereka terstigma melahirkan anak di luar nikah. Karena pernikahan mereka tidak dapat dicatatkan, anak-anak mereka sulit mendapat akte lahir, kalaupun mendapat akte lahir, yang dicatatkan hanyalah sebagai anak ibunya.
Pelanggaran HAM dan Hak Warga Negara lainnya yang dipantau oleh Komnas Perempuan adalah meningkatnya peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan (2015: 60) melaporkan bahwa pada tahun 2014 terdapat
365 kebijakan yang diskriminatif: 279 di antaranya menyasar langsung pada perempuan; 90 kebijakan mewajibkan perempuan untuk mengenakan busana tertentu atas dasar interpretasi agama tertentu; 124 kebijakan mengkriminalkan perempuan atas nama penertiban prostitusi, pornografi dan pornoaksi; 30 kebijakan mengatur pemisahan ruang public berdasar jenis kelamin (tentang khalwat dan muhrim) dan 35 kebijakan mengatur jam malam perempuan; 42 kebijakan menghalangi kebebasan warga untuk memeluk agama dan keyakinan serta untuk beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Lima besar provinsi yang terbanyak mengeluarkan kebijakan diskriminatif ini adalah Jawa Barat (90 kebijakan), Sumatra Barat (46 kebijakan), Jawa Timur (27 kebijakan), Kalimantan Selatan (24 kebijakan) dan Sulawesi Selatan (21 kebijakan).
Pembuatan perda yang diskriminatif (dan oleh karena itu maka perda ini adalah inkonstitusional [bertentangan dengan konstitusi]) ini bertentangan dengan UUD NRI 1945 Pasal 27 ayat 1 yang menyatakan bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” dan UUD NRI 1945 Pasal 28I ayat 2 yaitu bahwa: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Perda diskriminatif ini juga sudah memakan korban terutama perempuan, yang menjadi korban salah tangkap karena dicurigai sebagai prostitut. Ini di antaranya terjadi pada seorang perawat di Bandung yang ditangkap saat pulang malam dari bertugas di rumah sakit. Ia ditangkap dan ditahan sampai pagi harinya saat suster kepala menjemput perawat tersebut dengan meyakinkan bahwa perawat tersebut memang bekerja di rumah sakit, bukan seorang prostitut walaupun ia pulang malam.
Peristiwa salah tangkap juga terjadi pada Ibu Lilis Lisdawati, pegawai restoran yang ditangkap pada tanggal 27 Pebruari 2006 oleh petugas saat sedang menunggu kendaraan umum di malam hari di daerah Tangerang. Ia dituduh melanggar perda Tangerang tentang Pelarangan Pelacuran, walaupun ia sudah menyampaikan bahwa ia bukanlah seorang pelacur. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman 8 hari penjara dan denda Rp. 300.000. Ibu Lilis, yang saat itu sedang hamil dua bulan, berada di dalam tahanan selama 4 hari sebelum akhirnya dibebaskan suaminya dengan membayar denda tersebut. Setelah keluar dari penjara, Ibu Lilis dipecat dari tempat kerjanya dan tetangganya pun menjauhinya karena ia diberitakan sebagai seorang pelacur. Tidak tahan dengan perlakuan negative tetangganya, suaminya keluar dari pekerjaannya sebagai guru SD dan mereka pun pindah-pindah rumah. Karena keduanya sudah tidak lagi memiliki penghasilan, maka mereka terlilit utang. Ibu Lilis dibantu oleh pengacaranya mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Tangerang atas peristiwa salah tangkap yang merugikan dirinya, namun gugatannya ditolak. Ibu Lilis mengalami keguguran kandungan dan kemudian meninggal pada akhir tahun 2008 karena depresi (Komnas Perempuan, 2014: 1).
Namun Negara tidak selalu menjadi pelaku pelanggaran HAM dan Hak Warga Negara. Ada juga yang sudah dilakukan Negara untuk melindungi HAM dan Hak Warga Negaranya. Di antaranya adalah, selain dikeluarkannya perda diskriminatif yang jumlahnya meningkat setiap tahun dan sayangnya jumlahnya lebih tinggi dari jumlah kebijakan yang kondusif, pada tahun 2014 Komnas Perempuan juga mencatat ada 276 kebijakan kondusif bagi pemenuhan HAM dan Hak Konstitusional perempuan: 19 kebijakan di tingkat nasional dan 257 dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota. Dari 19 Kebijakan di tingkat nasional, 15 diantaranya mengatur mekanisme dan pedoman penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan serta standar pelayanan bagi perempuan korban kekerasan; 1 Kebijakan tentang perlindungan perempuan korban pada wilayah konflik; 1 kebijakan mengatur perlindungan hak reproduksi; dan 2 kebijakan tentang ratifikasi konvensi internasional. Dari 276 Kebijakan Kondusif, 260 diantaranya mengatur tentang pentingnya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, dan pembentukan lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A); 6 kebijakan tentang Pengarusutamaan Gender; 4 kebijakan untuk korban perdagangan orang; sisanya ada 6 kebijakan terkait misalnya tentang hak reproduksi, Buruh Migran dan pendidikan) (2015: 60).
Penutup
Indonesia sudah memasukan aturan tentang HAM dan Hak Warga Negara dalam konstitusinya (UUD NRI 45). Kita sebagai warga negara idealnya mendorong negara untuk menjalankan kewajibannya memenuhi hak-hak tersebut. Selain itu, sebagai warga Negara, kita juga idealnya saling menghormati dan menghargai pemenuhan HAM dan hak sebagai warga negara, tanpa memandang jenis kelamin, etnisitas ataupun agama yang dipeluknya. Mengingat agama seringkali dijadikan dasar untuk melegitimasi kekerasan dan diskriminasi, terutama dari pihak mayoritas terhadap kelompok minoritas, Negara idealnya berusaha agar dapat menghapuskan aturan, kebijakan atau fatwa yang cenderung mendukung pelanggaran HAM terhadap kelompok agama minoritas dan perempuan.
Sumber Rujukan
BBC, “Warga Islam Syiah Sampang Menolak ‘Bertobat’”, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2013/07/130726_syiah_sampang_tolak_sda, diakses 20 Juli 2015.
ELSAM, “Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Agama Minoritas”, 22 Desember 2014, referensi.elsam.or.id/…/DISKRIMINASI-DAN-KEKERASAN-TERHADAP-AGAMA-MINORITAS/, diakses 20 Juli 2015.
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum, “Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen)”, 19 Oktober 1999, http://jdih.ristek.go.id/?q=perundangan/konten/1828, diakses 20 Juli 2015.
Komnas Perempuan, Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan Tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama, Jakarta: Komnas Perempuan, 2014.
Komnas Perempuan, Hasil Eksaminasi Publik terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 16 P/HUM/2006 dan No. 26 P/HUM/2007 tentang Permohonan Juducial Review atas Perda Kota Tangerang dan Kabupaten Bantul tentang Pelarangan Pelacuran. Jakarta: Komnas Perempuan, 2014.
Komnas Perempuan, “Kekerasan terhadap Perempuan: Negara Segera Putus Impunitas Pelaku”. Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan (edisi launching), 2015, http://www.komnasperempuan.or.id/2015/03/catatan-tahunan-catahu-komnas-perempuan-2015- edisi-launching/, diakses 21 Juli 2015.
Kompas, “Jemaat GKI Yasmin Kembali Diintimidasi”, 31 Oktober 2011, http://megapolitan.kompas.com/read/2011/10/31/12075467/Jemaat.GKI.Yasmin.Kembali.Diintimid asi, diakses 20 Juli 2015.
Media Indonesia, “10 Juta Warga Bumi tanpa Status Warga Negara”, 16 Juni 2015, hlm. 23.
Media Indonesia, “Lahir di Kamp Pengungsian Yordania”, 16 Juni 2015, hlm. 23.
Produk Hukum.net, “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (Sebelum Amandemen)”, http://produkhukum.net/undang-undang-dasar-negara-republik-indonesia-tahun-1945-sebelum- amandemen.html, diakses 20 Juli 2015.
Republik Indonesia, “Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945”, http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/lt4ca2ed838f20e/node/lt4ca2eb6dd2834, diakses 20 Juli 2015.
Tobing, Jakob, “Amandemen UUD 1945 dan Reformasi”, Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, 27 Maret 2008,
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1695, diakses 16 Juli 2015.
Kuningan, Jawa Barat, 21 Juli 2015
Tulisan ini dipresentasikan pada hari Jum’at tanggal 14 Agustus 2015 di Johannes Leimena School of Public Leadership 2015, Institut Leimena, Jakarta.