Sepanjang tahun 2017, kasus-kasus terorisme kian marak terjadi. Dinamika dan pola-pola penyebaran yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, membuat setiap lapisan masyarakat harus lebih waspada dan tanggap, tak terkecuali para mahasiswa.
Tahun lalu, sempat ramai dibicarakan warganet, video di Youtube yang berisi sumpah mahasiswa Indonesia di kampus IPB untuk tegaknya Khilafah. Video yang diunggah 30 Maret 2016 tersebut, menampilkan 3.500 mahasiswa dari berbagai kampus yang menggelar simposium nasional di Kampus IPB Dramaga, Bogor.
Mahasiswa yang hadir mengucapkan sumpah dengan tangan teracung sebagaimana gaya ISIS, yang dipimpin oleh seorang pria dari atas panggung. Salah satu poin sumpah itu adalah mendirikan negara bersyariat Islam, yang isinya sebagai berikut:
“Kami akan terus berjuang tanpa lelah, untuk tegakkan syariah Islam dalam naungan negar Khilafah Islamiyah sebagai solusi tuntas problematika masyarakat Indonesia”.
Video yang viral ini, mendapat banyak tanggapan dari berbagai pihak. Salah satunya, melalui kaum Veteran yang dulunya berjuang bagi kemerdekaan Indonesia.
“Generasi muda, mungkin kalian sedang lupa, Indonesia merdeka bukan hasil perjuangan satu golongan saja. Jadi, veteran tetap memilih Pancasila. Jika kalian satu sikap dengan kami, jangan takut bersuara menyadarkan segelintir golongan. Suara veteran akan tetap sama, meski kami nanti sudah tiada!” ungkap salah seorang Veteran.
Patutnya, sikap para Veteran ini menyadarkan kita bahwa radikalisme kini tak pandang bulu. Bukan lagi menyasar masyarakat dalam kondisi status tertentu, tetapi juga menyerang anak-anak muda di lingkup pendidikan.
Bila hal ini terus dibiarkan, kita hanya akan melihat kerukunan antar umat beragama, kebhinekaan dan nilai-nilai pancasila sebagai cerita masa lalu. Jika sampai terjadi, betapa menyedihkannya sekaligus mengerikan!
Agar tidak menyesal nantinya, mahasiswa tidak bisa lagi skeptis atau masa bodoh dengan keadaaan di sekitarnya. Percaya atau tidak, bayang-bayang radikalisme kerap hadir di lingkungan kampus kita.
Dilansir dari kompas.com, Irfan Amalee, Direktur Peace Generation, mengungkapkan indoktrinasi paham radikal dilakukan dalam berbagai cara, antara lain:
- Kelompok radikal menggunakan narasi politik. Anak-anak muda yang sedang krisis identitas atau galau karena melihat adanya ketidakadilan, mudah sekali didorong melakukan jihad.
- Kelompok radikal menggunakan narasi historis, yaitu pengajaran nilai-nilai sejarah yang bukan membangkitkan kebijaksanaan, tetapi nilai balas dendam. Para pendidik sejarah mesti menjadikan ini salah satu pekerjaan rumah besarnya.
- Kelompok radikal menggunakan narasi psikologis, atau mengglorifikasi tokoh-tokoh kekerasan sebagai pahlawan. Ringkasnya, menganggap kekerasan itu sebagai solusi memecahkan masalah.
- Kelompok radikal menggunakan narasi keagamaan atau menggunakan ayat-ayat untuk merekrut anggota baru kelompok. Penggalan ayat yang tidak dimengerti baik oleh anak-anak dan gurunya, membuat anak muda lebih mudah bergabung dengan kelompok radikal. Dan, cara ini merupakan cara perekrutan paling efektif.
Masuknya radikalisme melalui narasi keagamaan, menunjukkan peran pendidikan yang sangat penting; baik pendidikan agama maupun kebangsaan. Persoalan yang dihadapi generasi muda, termasuk kaum intelektual atau mahasiswa adalah persoalan identitas. Mereka cenderung galau memilih antara agama atau kepentingan bangsa. Mereka tidak mengerti identitas berbangsa yang di dalamnya juga terkandung hak-hak beragama sebagai warga negara. Karena itulah, paham radikalisme begitu mudah menyelinap ke ranah kampus.
Mengingat ideologi radikalisme bersifat tertutup, ekslusif dan sektarian, maka diperlukan kerja sama semua pihak dan sektor, untuk mengikis penyebaran paham radikalisme. Perlu pembenahan pendidikan, baik sistem dan kebijakan. Perlu meningkatkan keterbukaan di ruang pendidikan, terutama dalam pengajaran keagamaan.
Selanjutnya, pendidikan kebangsaan juga harus kembali mengingatkan bahwa ideologi radikalisme bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Sumpah membangun Khilafah atau negara agama hingga meniadakan umat beragama lainnya, jelas bertentangan dengan Pancasila yang menjunjung keragaman, kebhinekaan sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa, menegaskan bahwa negara Indonesia bukanlah negara agama ataupun negara sekuler. Istilah Ketuhanan yang Maha Esa menunjukkan pengakuan manusia Indonesia atas keberadaan Tuhan yang tidak bisa dipersempit hanya pada beberapa agama yang telah diakui Negara.
Istilah Ketuhanan yang Maha Esa justru bermaksud memberi landasan bagi setiap manusia Indonesia untuk memaknai kepercayaan terhadap keberadaan yang Maha Kuasa dengan cara masing-masing, wujudnya bisa berupa agama maupun kepercayaan. Kemudian, sila pertama ini direalisasikan di Pasal 29 UUD 1945, yang isinya negara memberikan jaminan kebebasan beragama dan melaksanakan peribadatan sesuai agama yang dianut di Indonesia.
Untuk mewujudkan kebebasan beragama, perlu diikuti dengan adanya toleransi antar pemeluk agama lain. Apabila semua ini bisa terwujud, maka kampus akan jadi pelopor penangkal radikalisme. Bagi kamu yang mahasiswa, mari aktif bersama-sama menangkal radikalisme dan menjaga Indonesia. (EOS)
Sumber gambar: BBC.com